Sabtu, 30 Mei 2015

Cahaya

CAHAYA : OPTIK GEOMETRI
            Mula – mula secara teori cahaya dianggap sebagai sesuatu yang memancar dari mata. Kemudian disadari bahwa cahaya pastilah muncul dari obyek – obyek yang terlihat dan memasuki mata sehingga menyebabkan sensasi penglihatan. Pertanyaan tentang apakah cahaya terdiri dari sebuah sorotan dari partikel – partikel atau semacam gerakan gelombang adalah yang paling menarik dalam sejarah sains. Tokoh yang paling berpengaruh dalam teori partikel cahaya adalah Newton. Memakai teori tersebut, newton dapat menjelaskan hukum- hukum refleksi dan refraksi. Newton menurunkan hukum refraksi berdasarkan asumsi bahwa cahaya berjalan dalam air atau gelas lebih cepat dari pada di udara, sebuah asumsi yang akhirnya terbukti salah. Tokoh – tokoh utama dari teori gelombang cahaya adalah Christian Huygens dan robert Hooke. Memakai teori perambatan gelombang, Huygens dapat menjelaskan refleksi dan refraksi dengan asumsi cahaya berjalan di gelas atau air lebih lambat daripada di udara. Newton sudah mengerti ada baiknya teori gelombang cahaya, terutama dalam menjelaskan warna – warna yang dibentuk oleh film – film tipis, seperti yang sudah dipelajarinya secara luas.tetapi ia menolak teori tersebut berdasarkan kenyataan yang terlihat bahwa perambatan cahaya adalah garis lurus. Pada saat itu, pembelokan cahaya di sekitar penghalang; yang disebut difraksi, belum diamati. Karena reputasi dari otoritasnya, penolakan Newton terhadap teori gelombang cahaya sangat mempengaruhi pengikutnya. Bahkan sesudah bukti dari difraksi tersedia, pengikut Newton mencari – cari penjelasannya seakan – akan difraksi adalah hamburan partikel- partikel cahaya dari tepi celah.
            Teori partikel Newton diterima selama lebih dari seabad kemudian, pada tahun 1801, Thomas Young menghidupkan kembali teori gelombang cahaya. Ia adalah salah seorang yang pertama kali memperkenalkan ide interferensi sebagai fenomena gelombang yang terjadi pada cahaya dan suara. Hasil pengamatannya tentang interferensi adalah penjelasan tentang sifat alami cahaya sebagai gelombang.[1]
A.  Model berkas cahaya
Banyak bukti yang menunjukkan bahwa cahaya berjalan menempuh garis lurus pada berbagai keadaan. Sebagai contoh, sebuah sumber cahaya titik seperti matahari menghasilkan bayangan, dan sinar lampu senter tampak merupakan garis lurus. Kenyataannya, kita menentukan posisi benda di lingkungan kita dengan menganggap bahwa cahaya bergerak dari benda tersebut ke mata kita dengan lintasan garis lurus. Seluruh orientasi kita mengenai dunia fisik berdasarkan atas anggapan ini.
Anggapan yang masuk akal ini mengarah ke model berkas dari cahaya. Model ini menganggap bahwa cahaya berjalan dalam lintasan yangberbentuk garis lurus yang disebut berkas cahaya. Sebenarnya, berkas merupakan idealisasi; dimaksudkan untuk mempresentasikan sinar cahaya yang sangat sempit. Ketika kita melihat sebuah benda, menurut model berkas, cahaya mencapai mata kita dari setiap titik pada  benda; walaupun berkas cahaya meninggalkan setiap titik dengan banyak arah, biasanya hanya satu kumpulan kecil dari berkas - berkas ini yang dapat memasuki mata si peneliti.
Cahaya dapat dianggap sebagai gelombang elektromagnetik. Walaupun model berkas cahaya tidak menangani aspek cahaya namun model berkas telah berhasil dalam mendeskripsikan banyak aspek cahaya seperti pantulan, pembiasan, dan pembentukan bayangan oleh cermin dan lensa. Karena penjelasam – penjelasan ini melibatkan berkas lurus dengan berbagai sudut, topik ini disebut optik geometri.
·         pantulan
Ketika cahaya menimpa permukaan benda, sebagian cahaya dipantulkan. Sisanya diserap oleh benda (dan diubah menjadi energi panas) atau, jika benda tersebut transparan seperti kaca atau air, sebgaian diteruskan. Untuk benda – benda yang sangat mengkilat seperti cermin berlapis perak, lebih dari 95 persen cahaya bisa dipantulkan.
Bunyi hukum pantulan “ berkas sinar datang dan pantul berada pada bidnag yang sama dengan garis normal permukaan dan sudut datang sama dengan sudut pantul”. Hukum pemantulan berlaku untuk semua jenis gelombang. [2]

θr = θ1
pecahan energi cahaya yang dipantulkan pada sebuah bidang batas seprti misalnya pada permukaan udara kaca dngan cara rumit bergantung pada sudut datang, orientasi vektor medan listrik yang berhubungan dengan gelombang dan laju cahaya relatif di dalam medium pertama (udara) dan di dalam medium kedua ( kaca). Laju cahaya di dalam medium seperti misalnya kaca, air atau udara ditentukan oleh indeks bias n, yang didefinisikan sebagai perbandingan laju cahaya dalam ruang hampa c terhadap laju tersebut dalam medium v:[3]
n =
·         Pembiasan
Ketika cahaya melintas dari suatu medium ke medium lainnya, sebagian cahaya datang dipantulkkan pada perbatasan. Sisanyan lewat ke medium yang baru. Jika seberkas cahaya datang dan membentuk sudut terhadap permukaan (bukan hanya tegak lurus) , berkas tersebut dibelokkan pada waktu memasuki medium yang baru. Pembelokan ini disebut pembiasan. [4]Hukum snellius:
1.      Sinar datang, sinar bias, dan garis normal berpotongan pada suatu titik dan terletak pada satu bidang datar.
2.      Hubungan sudut datang dan sudut bias dinyatakan :
n1. sin θ1 = n2 . sin θ2


[1] Paul A. Tipler, FISIKA, Ed.3, Cet.1 - Jakarta : Erlangga, hlm. 433.
[2] Douglas C. Giancoli, FISIKA, Jakarta : Erlangga, Hlm. 243.
[3] FISIKA, Ed.3, Cet.1, Hlm. 442.
[4] FISIKA, Hlm. 257.

Jumat, 29 Mei 2015

Agama dan Negara

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
            Negara dan agama merupakan persoalan yang banyak menimbulkan perdebatan yang terus berkelanjutan di kalangan para ahli bahkan di kalangan para pakar muslim hingga kini. Ketegangan perdebatan tentang hubungan agama dan negara dalam Islam disulut oleh hubungan yang agak canggung dan perbedaan pandangan dalam menerjemahkan antara agama sebagai bagian dari negara dan negara bagian dari agama.
Perdebatan Islam dan negara berangkat dari pandangan dominan Islam sebagai sebuah sistem kehidupan yang menyeluruh (syumuli) yang mengatur semua kehidupan manusia termasuk persoalan politik. Banyak para ulama berargumentasi bahwa Islam merupakan sistem kepercayaan di mana agama memiliki hubungan erat dengan politik. Sedangkan negara secara umum diartikan sebagai suatu persekutuan hidup bersama, sebagai penjelmaan sifat kodrati manusia, sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Dari pernyataan tersebut  dapat disimpulkan bahwasannya agama dan negara mempunyai hubungan yang saling berkaitan dan kaitan-kaitan tersebut akan kami jelaskan dalam makalah ini.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang di maksud dengan negara?
2.      Apa tujuan negara?
3.      Apa saja bentuk-bentuk negara, teori-teori tentang negara dan unsur-unsur terbentuknya sebuah negara?
4.      Apa yang di maksud dengan agama?
5.      Apa fungsi agama?
6.      Bagaimana hubungan antara agama dan negara?
7.      Apa yang menjadi konsep relasi hubungan agama dan negara dalam Islam?

C.    Tujuan
1.      Mengetahui semua yang berkaitan dengan negara, baik itu teori, unsur, bentuk maupun tujuan sebuah negara dan agama serta fungsi-fungsinya.
2.      Mengetahui hubungan agama dan negara serta konsep-konsep relasinya dalam Islam.


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Negara
Istilah negara merupakan terjemahan dari beberapa kata asing yaitu state (Inggris), staat (Belanda dan Jerman) atau etat (Perancis). Kata-kata tersebut berasal dari kata latin status atau statum yang memiliki sifat-sifat yang tegak dan tetap. Secara terminologi, negara diartikan sebagai organisasi tertinggi di antara satu kelompok masyarakat yang mempunyai cita-cita untuk bersatu , hidup di dalam suatu kawasan dan mempunyai pemerintahan yang berdaulat. Negara juga merupakan perpaduan antara alat (agency) dan wewenang (authority) yang mengatur dan mengendalikan persoalan-persoalan bersama.[1]
Tujuan negara yaitu memperluas kekuasaan, menyelenggarakan ketertiban hukum dan mencapai kesejahteraan umum. [2]
Unsur-unsur terbentuknya negara yaitu :
1.      Rakyat
Rakyat adalah sekumpulan manusia yang dipersatukan oleh suatu rasa persamaan dan bersama-sama mendiami suatu wilayah tertentu.
2.      Wilayah
Wilayah adalah unsur negara yang harus terpenuhi karena tidak mungkin ada negara tanpa ada batas-batas teritorial yang jelas.
3.      Pemerintah
Pemerintah adalah alat kelengkapan negara yang bertugas memimpin organisasi negara untuk mencapai tujuan bersama didirikannya sebuah negara. Pemerintahan terbagi dalam dua bentuk yaitu parlementer dan presidentil.
4.      Pengakuan negara lain
Pengakuan negara lain ini hanya bersifat menerangkan tentang adanya negara. Ada dua macam pengakuan atas suatu negara yaitu de jure dan de facto. Pengakuan de jure yaitu pengakuan akan sahnya suatu negara atas dasar pertimbangan yuridis menurut hukum sedangkan pengakuan  de facto yaitu pengakuan atas fakta adanya negara.[3]
Semua unsur tersebut sangatlah menentukan terbentuknya sebuah negara, jika salah satu unsur di atas tidak terpenuhi maka tidak bisa di katakan sebagai sebuah negara. Jadi, untuk membentuk sebuah negara unsur-unsur tersebut sangatlah berpengaruh sebagaimana contohnya negara kita RI yang telah memenuhi unsur-unsur tersebut dengan berbagai cara dan upaya.
Teori-teori terbentuknya negara yaitu :
1.      Teori kontrak sosial
Teori ini dibentuk berdasarkan perjanjian-perjanjian masyarakat. Penganut teori ini yaitu Thomas Hobbes, John Locke dan J.J. Rousseau.
2.      Teori ketuhanan
Teori ini ditemukan baik di Timur maupun di Barat. Teori ini berpandangan bahwa hak pemerintah yang dimiliki berasal dari Tuhan.
3.      Teori kekuatan
Teori ini dapat diartikan bahwa negara terbentuk karena adanya dominasi negara kuat, melalui penjajahan. Menurut teori ini kekuatan menjadi pembenaran dari terbentuknya suatu negara.[4]
Bentuk-bentuk negara, secara umum dalam teori modern, negara terbagi ke dalam dua bentuk, yaitu:
1.      Negara kesatuan
Bentuk negara yang merdeka dan berdaulat dengan satu pemerintah pusat yang berkuasa dan mengatur seluruh daerah. Negara ini dalam pelaksanaannya terbagi ke dalam dua sistem pemerintahan yaitu sentral dan otonomi. Contohnya : NKRI
2.      Negara serikat
Bentuk negara gabungan yang terdiri dari beberapa negara bagian. Contohnya : Malaysia.


Di samping dua bentuk negara di atas, dari sisi pelaksana dan mekanisme pemilihannya, bentuk negara dapat digolongkan ke dalam tiga kelompok, yaitu :
1.      Monarki
Pemerintahan dikepalai oleh oleh raja atau ratu. Contohnya: Inggris
2.      Oligarki
Bentuk negara ini diperintah oleh beberapa orang yang berkuasa dari golongan atau kelompok tertentu.
3.      Demokrasi
Bentuk pemerintahan yang bersandar pada kedaulatan rakyat.[5]
Menurut kami dari bentuk-bentuk negara di atas jika dikaitkan dengan negara Indonesia yang mayoritas warga negaranya Islam, bentuk negara Indonesia adalah negara kesatuan. Hal ini dapat kita lihat dari maksud negara kesatuan yaitu bentuk negara yang merdeka dan berdaulat dengan satu pemerintahan pusat yang berkuasa mengatur seluruh daerah.
Indonesia merupakan negara kesatuan karena Indonesia adalah negara yang merdeka yang diperoleh dari berbagai upaya dan usaha melawan penjajahan. Negara Indonesia juga diperintah oleh satu pemerintah yaitu presiden yang mengatur seluruh daerah.
Indonesia dalam pelaksanaan pemerintahannya ada dua sistem yang dijalankan yaitu sistem pemerintahan sentral dan otonomi. Sistem pemerintahan sentral yaitu sistem pemerintahan yang langsung dipimpin oleh pemerintahan pusat. Sedangkan sistem otonomi merupakan sistem dimana kepala daerah diberi kewenangan untuk mengatur dan mengurus pemerintahannya sendiri. Contohnya : Aceh
Sedangkan dilihat dari sisi pelaksana dan mekanisme pemilihannya, bnetuk negara Indonesia termasuk ke bentuk demokrasi karena pilihan dan kehendak rakyat ditentukan melalui mekanisme pemilihan umum (pemilu). Hanya saja system pemerintahan dan pemerintah yang menjalankannya tidak mengindahkan segala tanggungjawab yang telah diberikan oleh masyarakat.

B.     Agama
            Agama merupakan sistem kepercayaan dan peribadatan yang digunakan oleh berbagai bangsa dalam perjuangan mereka mengatasi persoalan-persoalan tertinggi dalam kehidupan manusia. (J. M. Yinger, Religion, Society and the Individual).[6]
Menurut Turner ada dua fungsi sosial agama yaitu:
1.      Sebagai suatu bentuk ikatan (cement) sosial yang menciptakan suatu pertalian atau hubungan di antara individu-individu yang mengalami pertentangan potensial.
2.      Sebagai suatu bentuk racun sosial yang memaksa konflik kepentingan di antara kelompok-kelompok yang saling bertentangan.[7]
Dalam perspektif budaya yang luas, agama menjalankan dua fungsi :
1.      Sebagai suatu prinsip kontinuitas dan konservasi.
2.      Sebagai satu sumber kehidupan spiritual baru.[8]

C.    Hubungan Agama dan Negara
Dalam memahami hubungan agama dan negara, ada beberapa konsep hubungan agama dan negara menurut beberapa aliran, antara lain paham teokrasi, paham sekuler dan paham komunis.
1.      Hubungan agama dan negara menurut paham teokrasi
Menurut paham ini, negara menyatu dengan agama karena pemerintahan menurut paham ini dijalankan berdasarkan aturan-aturan atau firman Tuhan, segala tata kehidupan dalam masyarakat, bangsa dan negara dilakukan atas titah Tuhan.
2.      Hubungan agama dan negara menurut paham sekuler
Menurut paham ini, norma hukum ditentukan atas kesepakatan manusia dan tidak berdasarkan agama atau firman-firman Tuhan meskipun mungkin norma-norma tersebut bertentangan dengan norma-norma agama.
3.      Hubungan agama dan negara menurut paham komunisme
Menurut paham ini, kehidupan manusia adalah dunia manusia itu sendiri yang kemudian menghasilkan masyarakat negara. Sedangkan agama dipandang sebagai realisasi fantastis makhluk manusia dan agama merupakan keluhan makhluk tertindas.[9]

D.    Konsep Relasi Agama dan Negara Dalam Islam
            Dalam lintasan historis Islam, hubungan agama dengan negara dan sistem politik menunjukkan fakta yang sangat beragam. Banyak para ulama tradisional yang berargumentasi bahwa Islam merupakan  sistem kepercayaan di mana agama memiliki hubungan erat dengan politik. Islam memberikan pandangan dunia dan makna hidup bagi manusia termasuk bidang politik. Dari sudut pandang ini maka pada dasarnya dalam Islam tidak ada pemisahan antara agama dan politik. Ketegangan perdebatan tentang hubungan agama dan negara ini diilhami oleh hubungan yang agak canggung antara Islam sebagai agama dan negara.
Dalam lintasan sejarah dan opini para teoritis politik Islam, ditemukan beberapa pendapat yang berkenaan dengan konsep hubungan agama dan negara. Konsep tersebut yaitu:
1.      Paradigma Integralistik
Paradigma ini menganut konsep hubungan agama dan negara yaitu satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dan dua lembaga yang menyatu (integrated). Konsep ini menegaskan bahwa Islam tidak mengenal pemisahan antara agama (din) dan politik atau negara (dawlah). Dalam pergulatan Islam dan negara modern, pola hubungan integratif  melahirkan konsep tentang agama-negara yang bahwa kehidupan kenegaraan diatur dengan menggunakan hukum dan prinsip keagamaan. Paradigma ini dianut oleh negara kerajaan Saudi Arabia dan kelompok Islam Syi’ah di Iran. Kelompok pencinta Ali ini menggunakan istilah imamah sebagaimana dimaksud dengan istilah dawlah yang banyak dirujuk kalangan Ulama Sunni.
2.      Paradigma Simbiotik
Paradigma ini yaitu hubungan agama dan negara berada pada posisi saling membutuhkan dan bersifat timbal balik (simbiosis mutualita). Dalam konteks ini, agama membutuhkan negara sebagai instrumen dalam melestarikan dan mengembangkan agama. Sebaliknya, negara memerlukan agama karena agama membantu negara dalam pembinaan moral, etika dan spiritualitas warga negaranya. Contohnya Mesir dan Indonesia.

3.      Paradigma sekularistik
Paradigma ini beranggapan bahwa ada pemisahan antara agama dan negara. Agama dan negara merupakan dua bentuk yang berbeda dan satu sama lain memiliki garapan masing-masing, sehingga keberadaannya harus dipisahkan dan tidak boleh satu sama lain melakukan intervensi. Negara adalah urusan manusia dengan manusia lain atau urusan dunia sedangkan agama merupakan hubungan manusia dengan Tuhan. Contohnya Turki.[10]
Dari tiga paradigma tersebut, Indonesia yang mayoritas beragama Islam termasuk ke paradigma simbiotik. Di mana antara agama dan negara berada pada posisi saling membutuhkan dan bersifat timbal balik. Agama membantu pada pembinaan moral, etika dan sebagainya sedangkan negara sebagai instrumen melestarikan agama tersebut.
E.     Hubungan Islam dan Negara di Indonesia
            Masalah hubungan Islam dan negara di Indonesia merupakan persoalan yang menarik untuk dibahas, karena tidak saja Indonesia merupakan mayoritas warga negaranya beragama Islam, tetapi karena kompleksnya persoalan yang muncul. Mengkaji hubungan agama dan negara di Indonesia, secara umum dapat digolongkan ke dalam dua bagian yaitu hubungan yang bersifat antagonistik dan hubungan yang bersifat akomodatif.
1.      Hubungan agama dan negara yang bersifat antagonistik
Hubungan ini merupakan sifat hubungan yang mencirikan adanya ketegangan antara negara dengan Islam sebagai sebuah agama.
Contoh hubungan antagonis agama dan negara yaitu pada masa orde baru. Di mana antara negara orde baru dengan kelompok Islam ada kecurigaan dan pengekangan kekuatan Islam yang berlebihan dilakukan presiden Soeharto.
2.      Hubungan agama dan negara yang bersifat akomodatif
Hubungan ini lebih dipahami sebagai sifat hubungan di mana negara dan agama satu sama lain saling mengisi bahkan ada kecenderungan memiliki kesamaan untuk mengurangi konflik.
Contoh hubungan akomodatif agama dan negara yaitu ditandai dengan adanya kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan dan keagamaan serta kondisi dan kecenderungan akomodatif umat Islam sendiri. Di mana pemerintah mulai menyadari akan potensi umat Islam sebagai kekuatan politik yang potensial.[11]


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
            Agama dan negara mempunyai hubungan yang saling berkaitan, di mana agama itu berhubungan dengan persoalan-persoalan negara. Namun di antara agama dan negara tidak dapat dilepaskan dari konteks kecenderungan pemahaman agama yang berbeda, bukan saja karena alasan sejarah yang berbeda, tetapi masyarakat Indonesia sendiri memiliki perbedaan-perbedaan.
            Indonesia adalah negara yang secara konstitusional bukan negara Islam ataupun negara agama, tetapi Indonesia mayoritas masyarakatnya memeluk agama Islam.
            Konsep negara Indonesia adalah ijtihad inklusif kelompok Islam dalam era pembentukan negara Indonesia. Di mana kewajiban umat Islam, sebagaimana kelompok lainnya adalah menjaga dan melestarikan kesepakatan para pendiri bangsa tersebut.
            Hubungan agama dan negara di Indonesia lebih menganut pada asas keseimbangan yang dinamis. Keseimbangan dinamis adalah tidak ada pemisahan antara agama dan politik, namun masing-masing dapat saling mengisi dengan peranannya masing-masing dan agama memiliki kedudukan tersendiri terhadap negara, begitu pula halnya dengan negara.
B.     Kritik dan Saran
Dari beberapa penjelasan di atas tentang konsep relasi agama dan negara dalam Islam pasti tidak terlepas dari kesalahan penulisan dan rangkaian kalimat serta penyusunannya. Saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan seperti yang di harapkan oleh para pembaca khususnya pembimbing mata kuliah ini. Oleh karena itu, saya mengharapkan kepada para pembaca mahasiswa dan dosen pembimbing mata kuliah ini agar memberikan kritik dan saran yang sifatnya membangun dalam terselesaikannya makalah yang selanjutnya.




[1] A. Ubaedillah dan Abdul Rozak, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani, ICCE UIN syarif Hidayatullah Jakarta bekerjasama dengan The Asia Foundation, Ciputat Jakarta Selatan, 2000, hlm. 24.
[2] Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani, hlm. 25.
[3] Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani, hlm 27-29.

[4] Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani, hlm. 30-34.

[5] Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani, hlm. 34-35.

[6] J. M. Yinger dalam buku Sosiologi Agama, Ed. 2 Cet. 1 – Jakarta : Kencana, 2004, hlm. 35.
[7] Turner, Bryan S. dalam buku Agama Modernisasi & Sekularisasi, Yogyakarta : PT. Tiara Wacana, 1994, hlm. 11.
[8] M. Rusli Karim, Agama Modernisasi & Sekularisasi, Yogyakarta : PT. Tiara Wacana, 1994, hlm. 11-12
[9] Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, & Masyarakaat Madani, Jakarta : Prenada Media, 2000, hlm. 58-61.
[10] Demokrasi, Hak Asasi Manusia, & Masyarakaat Madani, hlm. 61-64.
[11] Demokrasi, Hak Asasi Manusia, & Masyarakaat Madani, hlm. 64-67.