BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ketika Nabi Muhammad SAW belum wafat,
kaum muslimin masih bersatu dalam agama yang mereka jalani. Namun begitu Nabi Muhammad SAW
wafat, perselisihan di antara mereka terjadi tentang pemimpin yang akan
menjadi pengganti Nabi SAW. Namun akhirnya, kekuatan kepemimpinan para
sahabat Nabi tersebut mengalahkan semua ambisi dan fanatisme kesukuan, sehingga
menggiring mereka pada kesepakatan untuk memilih Abu Bakar As-Shidiq sebagai
khalifah. Setelah Ia wafat, khalifah berpindah ke tangan Umar bin
Khatab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib.
Pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib, muncul satu kelompok
dari pengikut Ali yang memisahkan diri dan kemudian dinamakan dengan aliran
khawarij. Khawarij berpandangan bahwa Utsman, Ali, Aisyah, Thalhah, Zubair,
Muawiyah, dan pengikut mereka dalam perang Jamal dan Shiffin adalah kafir.
Khawarij hanya mengakui khalifah Abi Bakar dan Utsman.
Pada masa Ali, lahir juga aliran Sabaiyah dari kalangan Rafidhah
(Syi’ah) yang dipimpin oleh Abdullah bin Saba’. Mereka berpandangan bahwa Ali
adalah Tuhan. Ajaran Abdullah bin Saba’ ini dilanjutkan oleh golongan syiah
yang terpecah menjadi 3 golongan besar, yaitu Imamiyah, Zaidiyah, dan
Ismailiyah.
Setelah benturan pemikiran antara Syi’ah dan Khawarij semakin keras
pasca proses arbitrase antara Ali dan Mu’awiyah. Situasi tersebut menjadi sebab
lahirnya satu kelompok yang netral (tidak memilih antara pihak manapun).
Menurut kelompok ini, ketika kita tidak dapat menentukan mana pihak yang
salah dan mana yang benar, maka kita harus mengembalikan persoalan ini kepada
Allah. Dengan pandangan ini, kelompok tersebut akhirnya dinamakan aliran
Murji’ah (kelompok yang mengembalikan persoalan kepada Allah).
Pada akhir generasi sahabat, lahir aliran Qadariah yang
dipimpin oleh Ma’bad al-Juhani, Ghailan al-Dimasyqi dan Ja’ad bin Dirham.
Kelompok ini berpandangan bahwa perbuatan manusia terjadi karena rencana
sendiri bukan karena takdir Allah. Pandangan mereka menuai penolakan
keras dari kalangan sahabat yang masih hidup pada saat itu, seperti Abdullah
bin Umar, Abdullah bin Abbas, dan lain sebagainya.
Pada masa al-Imam al-Hasan Al-Bashri lahir kelompok Mu’tazilah yang
dirintis oleh Atha’ al-Ghazzal yang membawa paham manzilah baina al
manzilataini (tempat antara dua tempat). Aliran ini berpandangan bahwa seorang
muslim yang fasik tidak dikatakan mukmin dan tidak dikatakan kafir dan
diakhirat nanti dia akan kelak dineraka bersama dengan orang-orang kafir.
Selain aliran tersebut diatas muncul aliran Najjariyah, Karramiyah dan Wahhabi.
Berdasarkan data sejarah yang ada, setelah terjadinya fitnah pada
masa khalifah Utsman bin Affan kemudian aliran-aliran yang
menyimpang dari ajaran Islam yang murni dan asli bermunculan satu persatu, maka
pada periode akhir generasi sahabat Nabi SAW istilah Ahl Sunnah Wal
Jama’ah mulai diperbincangkan dan dipopulerkan sebagai nama bagi kaum
muslimin yang masih setia kepada ajaran Islam yang murni dan tidak terpengaruh
dengan ajaran-ajaran baru yang keluar dari mainstrem.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Ahl Sunnah dan salaf ?
2. Bagaimanakah latar belakang lahirnya Ahl Sunnah ?
3. Siapakah Ibn Hanbal dan Ibn Taimiyah ?
C. Tujuan
Sebagai pemenuhan
salah satu tugas mata kuliah Ilmu Kalam yang
berjudul ‘‘Pemikiran Teologi Ahl al-Sunnah: Salaf (Ahmad Ibn Hanbal dan Ibn
Taimiyah” dan untuk
menambah pengetahuan tentang hal tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Teologi Ahl
al-Sunnah
Term
ahli Sunnah dan Jama’ah ini timbul sebagai reaksi terhadap paham-paham golongan
mu’tazilah yang telah dijelaskan sebelumnya dan terhadap sikap mereka dalam
menyiarkan ajaran-ajaran itu.[1]
Kaum Mu’tazilah tidak begitu banyak berpegang pada sunnah atau tradisi, bukan
karena mereka tidak percaya pada tradisi Nabi dan para sahabat, tetapi karena
mereka ragu akan keoriginalan hadis-hadis mengandung sunnah atau tradisi itu.
Oleh karena itu mereka dapat dipandang sebagai golongan yang tidak berpegang
teguh pada sunnah.
Dengan
demikian kaum Mu’tazilah, di samping merupakan golongan minoritas, adalah
golongan yang tidak kuat berpegang pada sunnah. Mungkin inilah yang menimbulkan
term ahli Sunnah dan Jama’ah, yaitu golongan yang berpegang pada sunnah lagi
merupakan mayoritas. Maka Sunnah dalam term ini berarti hadist, dan jama’ah
berarti mayoritas sesuai dengan tafsiran yang diberikan Sadr al-Syari’ah
al-Mahbubi yaitu ‘ammah al-muslimin (umumnya umat islam) dan al-jama’ah
al kasir wa al-sawad al-‘azam (jumlah besar dan khalayak ramai).[2]
B.
Aliran
Salaf
Menurut Thablawi Mahmud Sa’ad’ salaf
artinya ulama Thabii, thabi’ thabi’in, para pemuka abad ke 3 H, dan para
pengikutnya pada abad ke 4 yang terdiri atas Muhaddisin dan sebagainya. Salaf
berarti ulama-ulama saleh yang hidup pada tiga abad pertama islam. Menurut
Asy-Syahrastani (474 – 548 H) ulama salaf tidak menggunakan takwil (dalam
menafsirkan ayat-ayat mutasybihat) dan tidak mempunyai paham tasybih (antropomorfisme).[3]
Aliran
salaf adalah aliran yang dimunculkan oleh orang-orang hanbaliah (abad ke IV H),
pada abad VII H dihidupkan kembali oleh Ibnu Taimiyah kemudian diteruskan oleh
Muhammad bin Abdul Wahab (abad ke 12 H).[4]
Madzhab
salaf juga menganut madzhab Hanbali dan para penahqiq yang tidak mengartikan
ayat-ayat mutasyabihat, terutama dalam masalah nama-nama dan sifat-sifat allah.
Karena, hal itu adalah prasangka. Sedangkan prasangka kadang salah dan
kadang benar. Dengan demikian, hal itu sama dengan membicarakan Allah dengan
tanpa ilmu. Dan, itu dilarang. Kaum salaf tidak mau menafsirkan karena takut
tidak percaya terhadap nama-nama dan sifat-sifat Allah. Oleh karena itu, mereka
berpendapat bahwa menanyakan hal itu termasuk ke dalam perbuatan bid’ah.
Karena, para sahabat pun tidak pernah memperlakukan nama-nama dan sifat-sifat Allah
dengan prasangka. Prasangka hanya dilakukan untuk hukum-hukum syariat, bukan
keyakinan.[5]
Berikut
akan di jelaskan beberapa ulama salaf dengan pemikirannya, terutama berkaitan
dengan persoalan-persoalan
kalam.
1.
Imam
Ahmad Bin Hanbal (780 – 855 M)
a.
Riwayat
hidup singkat Ibnu Hanbal
Ibnu Hanbal dilahirkan di Baghdad tahun 164 H atau 780 M. Dan meninggal
241 H atau 855 M. Ia serring di panggil Abu Abdillah karena salah
seorang anaknya bernama Abdillah. Ia lebih di kenal dengan nama Imam Hanbali
karena menjadi pendiri mazhab Hanbali. Ayahnya meninggal ketika Ibnu Hanbal
masih berusia muda meskipun demikian, ayahnya telah mengawalinya memberikan Al-Quran.
Pada usia 16 tahun, ia belajar Al-Quran dan ilmu-ilmu agama lainnya kepada
ulama-ulama Baghdad. Lalu mengunjungi ulama terkenal di Kuffah, Basrah, Syam,
Yaman, Mekkah, dan Madinah. Diantara guru- gurunya adalah Hammad Bin Khalik,
Ismail Bin Aliyyah, Muzaffar Bin Mudrik, Walid Bin Muslim, Mukhtamar Bin
Sulaiman, Abu Yusuf Al Qadi, Yahya Bin Zaidah, Ibrahim Bin Said, Muhammad Bin
Idris Asyafii, Abd Razak Bin Humam, Dan Musa Bin Thariq. Dari guru-gurunya, Ibn
Hanbal mempelajari ilmu fikih, hadist, tafsir, kalam, ushul, dan bahasa arab.
Sebagai seorang yang teguh pendirian, ketika khalifah Al makmun
mengembangkan mazhab Mu’tazilah, Ibn Hanbal menjadi korban “mihnah” inquistation
karena tidak mengakui bahwa Al Quran itu makhluk, sehingga ia harus masuk
penjara. Nasib serupa di alaminya pada masa pemerintahan para pengganti Al
makmun, yaitu Al muktasim dan Al Watsiq. Setelah Al mutawakkil naik tahta, Ibn
hanvbal memperoleh kebebasan. Pada masa ini, ia memperoleh penghormatan dan
kemuliaan.
Diantara murid-murid Ibn Hanbal adalah Ibn Taimiyah, Hasan Bin
Musa, Al Bukahri, Muslim,Abu Daud,Abu Zuhrah Adamsyiqi,Abu Zuhrah Ar-Razi,Ibn
Abi Adunia,Abu Bakar Al-Asram,Hanbal Bin Ishaq Asyaibani,Saleh,dan
Abdullah.Kedua orang yang disebutkan terakhir merupakan putranya.[6]
b.
Pemikiran
Teologi Ibnu Hanbal
1)
Ayat-Ayat
Mutashabihat
Dalam memahami ayat-ayat Al-Quran, Ibnu Hanbal lebih menyukai
pendekatan lafdzi (tekstual) dari pada pendekatan takhwil,terutama yang berkaitan
dengan sifat-sifat tuhan dan ayat-ayat mutashabihat. Hal itu terbukti ketika ia
ditanya tentang penafsiran ayat:
اَلرَّحْمَانُ
عَلىَ الْعَرْشِ اسْتَوَى
Artinya: Yang
maha pengasih,yang brsemayam di tas arsyi (Q.S. Thaha [20]:5)
Dalam hal ini, Ibnu Hanbal menjawab;
اِسْتَوَى
عَلىَ الْعَرْشِ كَيْفَ شَاءَ وَكَمَا شَاءَ بِلَا حَدٍ وَلَا صِفَةٍ يُبَلِّغُهَا وَاصِفٌ
Artinya: Istawa di atas arsyi terserah Dia dan bagaimana Dia
kehendaki dengan tiada batas dan tiada
seorang pun yang sanggup menyifatinya.
Kemudian, ketika ditanya tentang makna hadis nuzul (Tuhan turun ke
langit dunia),ru’kyah (orang-orang beriman melihat tuhan di akhirat),dan hadis
tentang telapak kaki tuhan, Ibnu Hanbal menjawab;
نُؤْمِنُ
بِهَا وَ نُصَدِّ قُهَا وَلاَ كَيْفَ وَلَا مَعْنَى
Artinya: Kita mengimani dan membenarkannya, tanpa mencari
penjelasan cara dan maknanya.
Dari pernyataan di atas Ibnu Hanbal tampaknya bersikap
menyerahkan (Tahwizdh) makna-makna ayat
dan hadis mutasyabihat kepada Allah dan Rasulnya,dan menyucikannya dari
keserupaan dengan makhluk.Ia sama sekali tidak menakwilkan pengertian lainnya.
2)
Status
Al-qur’an
Salah satu persoalan teologis yang dihadapi Ibn Hanbal yang
kemudian membuatnya dipenjara beberapa kali adalah tentang status Al-qur’an,
apakah diciptakan (makhluk) karena hadis (baru) ataukah tidak diciptakan karena
qadim. Paham yang diakui pemerintah resmi pada saat itu, yaitu Dinasti
Abbasiyah di bawah kepemimpinan Khalifah Al-Ma’mun, Al-Mu’tasim, dan Al-Watsiq
adalah paham Mu’tazilah, yaitu Al-qur’an bersifat qadim, tetapi baru dan
diciptakan. Sebab, paham adanya qadim di samping Tuhan, bagi Mu’tazilah berarti
menduakan Tuhan. Menduakan Tuhan adalah syirik dan dosa besar dan tidak
diampuni Tuhan.
Tampaknya Ibn Hanbal tidak sependapat dengan paham resmi di atas.
Oleh karena itu, ia kemudian diuji dalam kasus mihnah oleh aparat pemerintah.
Pandangannya tentang status Al-qur’an dapat dilihat dari dialognya dengan Ishaq
bin Ibrahim, Gubernur Iraq:
Ishaq :Apa pendapatmu tentang
Al-qur’an
Ibn
Hanbal :Sabda Tuhan
Ishaq :Apakah
ia diciptakan
Ibn Hanbal :Sabda Tuhan, saya tidak mengatakan lebih dari itu
Ishaq :
Apa arti ayat : Maha mendengar (Sami’) dan maha melihat ( Basir) ?
(Ishaq ingin memuji Ibnu Hanbal tentang paham
antropomorfisme)
Ibnu Hanbal :
Tuhan mensifatkan dirinya (dengan kata-kata itu)
Ishaq :
Apa artinya?
Ibnu Hanbal :
tidak tahu. Tuhan adalah sebagaimana ia sifatkan dirinya.
2.
Ibn
Taimiah
1)
Riwayat
Hidup Singkat Ibn Taimiah
Nama lengkap Ibn Taimiah adalah Taqiyuddin Ahmad bin Abi Al-Halim
bin Taimiah. Dilahirkan di Harran pada hari senin tanggal 10 Rabiul Awal tahun
661 H dan meninggal di penjara malam senin tanggal 20 Dzulqaidah tahun 729 H.
Kewafatannya telah menggetarkan dada seluruh penduduk Damaskus, Syam, dan
Mesir, serta kaum muslim pada umumnya. Ayahnya bernama Syihabbuddin Abu Ahmad
Abdul Halim bin Abdissalam Ibn Abdillah bin Taimiah, seorang syekh, khatib, dan
hakim di kotanya.
Ibn Taimiah terkenal dengan kecerdasan sehingga pada usia 17 tahun
telah dipercaya masyarakat untuk memberikan pandangan-pandangan mengenai
masalah hukum secara resmi. Para ulama lawan Ibn Taimiah yang sangat risau oleh
serangan-serangannya, seta iri hati terhadap kedudukannya di istana gubernur
Damaskus, telah menjadikan pemikiran-pemikiran Ibn Taimiah sebagai landasan
untuk menyerangnya. Dikatakan oleh lawan-lawannya bahwa pemikiran Ibn Taimiah
sebagai klenik, antropomorphisme, sehingga pada awal 1306 M Ibn Taimiah
dipanggil ke Kairo. Sesuai keputusan pengadilan kilat, akhirnya ia
dipenjarakan.
2)
Pemikiran
Teologi Ibn Taimiah
Pikiran-pikiran Ibn Taimiah, seperti dikatakan Ibrahim Madzkur
adalah sebagai berikut:
·
Berpegang
teguh pada nash (teks Al-qur’an dan Al-hadist)
·
Tidak
memberikan ruang gerak yang bebas pada akal
·
Berpendapat
bahwa Al-qur’an mengandung semua ilmu agama
·
Di
dalam Islam yang diteladani hanya tiga generasi (sahabat, tabiin, dan tabii
tabiin)
·
Allah
memiliki sifat yang tidak bertentangan dengan tauhid dan tetap mentahzihkannya
·
Ibn
Taimiah mengkritik Imam Hanbali dengan mengatakan bahwa apabila kalamullah
qadim, kalamnya pasti qadim pula.
Lahirnya aliran salaf juga dibarengi oleh berbagai situasi, antara
lain menggejalannya pentakwilan Al-qur’an yang tidak membawa manfaat bagi kaum
muslimin dan terdapatnya gejala kerusakan ‘aqidah, tersebarnya bid’ah dan
menyelewengnya cara-cara beribadah.
Keadaan diatas menggugah hati orang yang bermazhab hanbali bangkit
memberantas semua bid’ah yang telah meresap dalam jiwa kaum muslimin, bangun
dan berjuang ingin mengembalikan semua ibadah kepada Al-qur’an, hadist, amal
para sahabat dan tabi’in atau dengan kata lain kembali kepada garis-garis islam
yang sebenarnya, sebagaimana dilakukan oleh Nabi, para sahabat dan para
tabi’in.
Ibnu Taimiyah salah seorang pembela aliran salaf, telah menyerang
secara tajam lawan-lawan yang tidak sepaham dengannya. Ia menyerang para
failasuf dengan tuduhan telah memasukkan filsafat yunani ke dalam ajaran islam,
menyerang Ghazali dan para sufi lainnya dengan tuduhan telah membuat
ibadah-ibadah baru dalam Islam dan memasukkan Hadia-hadia palsu, dan kepada
kaum mu’tazilah dituduh telah mendahulukan akal daripada Al-quran, bahkan ia berani
menyerang Umar bin Khattab khalifah kedua dengan tuduhan telah membuat salah
dan menciptakan bid’ah.
Islam menurut aliran salaf adalah mengimani apa yang terdapat dalam
teks Al-quran, harus dipahaminya tanpa takwil, seperti mengimani jin, malaikat,
syaitan, segala sifat Tuhan seperti adil, berkehendak mutlak, mempunyai arasyi,
perkasa, menunjuki orang-orang yang beriman, menyesatkan orang-orang kafir,
menciptakan perbuatan manusia, memberi imbalan sesuai dengan amal perbuatannya
dan sebagainya. Semuanya itu harus dipercaya tidak boleh dibantah, ditafsir dan
tidak boleh disesuaikan dengan akal manusia.[7]
Berikut ini merupakan pandangan Ibn Taimiyah tentang sifat-sifat
Allah.
a.
Percaya
sepenuh hati terhadap sifat-sifat Allah yang Ia sendiri atau rasul-Nya menyifati.sifat-sifat
yang dimaksud adalah :
1.
Sifat
Salbiyah yaitu qidam, baqa, mukhalafatuhu lil hawaditsi, qiyamuhu binafsihi dan
wahdaniyah
2.
Sifat
ma’ani yaitu qudrah,
iradah, sama’, bashar, hayat, ilmu dan kalam.
3.
Sifat
khabariah ( sifat-sifat yang diterangkan Al-Quran dan Hadis walaupun akal
bertanya-tanya tentang maknanya). Seperti keterangan yang menyatakan bahwa
Allah di langit; Allah atas Arasy; Allah turun ke langit dunia; Allah dilihat
oleh orang beriman di surga kelak; wajah, tangan dan mata Allah.
4.
Sifat
dhafiah,meng-idhafat-kan atau menyandarkan nama-nama Allah pada alam makhluk,
seperti rabb al-alamin, khaliq al-kaun, dan falik al-hubb wa al-nawa.
b.
Percaya
sepenuhnya terhadap nama-nama-Nya, yang Allah atau rasulnya sebutkan, seperti
al-awwal. Al-akhir, azh-zhahir,al-bathin,al-alim,al-qadir,al-hayy,al-qayyum,as-sami,dan
al bashir.
c. Menerima
sepenuhnya sifat dan nama Allah tersebut dengan :
1.
Tidak
mengubah maknanya dapa makna yang tidak dikehendaki lafaz (min ghair tahrif)
2.
tidak
menghilangkan pengertian lafaz (min ghair ta ‘thil)
3.
tidak
mengingkarinya (min ghair ilhad)
4.
tidak
menggambar-gambarkan bentuk tuhan, baik dalam pikiran atau hati, apalagi dengan
indera (min ghair takyif at-takyif)
5.
tidak
menyerupakan (apalagi menyamakan) sifat-sifat-Nya dengan sifat-sifat
makhluk-Nya (min ghair tamtsil rabb al-alamin). Hal ini disebabkan bahwa tiada
sesuatu pun yang dapat menyamai-Nya, bahkan yang menyerupai-Nya pun tiada ada.
Berdasarkan alasan
diatas, Ibn Taimiyah tidak menyetujui penafsiran ayat-ayat mutasyabihat.Menurutnya,
ayat atau Hadis yang menyangkut sifat-sifat Allah yang harus diterima dan
diartikan sebagaimana adanya, dengan catatan tidak men-tajsim-kan,tidak
menyerupakan-Nya dengan makhluk, dan tidak bertanya-tanya tentangnya.[8]
3) Konsepsi baik buruk menurut pandangan Ibnu
Taimiyah
As-Safarini pernah menyatakan, sebagaimana
ia kutip dari pendapat Ibnu Taimiyah, bahwa Allah menciptakan manusia atau ciptaan-Nya
dengan ikhtiar, sebagaimana tertera dalam bait syair berikut:
‘‘Tuhan
kita menciptakan (manusia atau makhluk-Nya) dengan ikhtiar tanpa tuntunan dan
tanpa terpaksa. Tuhan tidak menciptakan makhluknya untuk tujuan yang sia-sia,
sebagaimana tersirat dari petunjuk nash yang ada. Dengan demikian, ikutilah
petunjuknya”
Ibnu
Taimiyah mengatakan, sebagaimana dikutip oleh As-Safarini, “persoalan tentang
konsep baik dan buruk menurut pandangan akal telah menimbulkan perselisihan
yang cukup tajam di antara kalangan mu’tazilah dan kelompok-kelompok lainnya.
Kalangan mu’tazilah, Al-Karamiyah, dan sebagai pengikut Abu Hanafiah, Malik, Asy-Syafi’i,
Ahmad dan ahli hadits menetapkan bahwa akal dapat menentukan sesuatu yang baik
dan buruk. Sedangkan yang munafikan peran akal dalam menetapkan konsep baik dan
buruk adalah kalangan Al-Asy ‘ariyah dan kelompok yang seide dengan mereka
seperti sebagian pengikut imam Malik, imam Asy-Syafi’i dan imam Ahmad. [9]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Term ahli Sunnah dan Jama’ah, yaitu golongan yang berpegang pada
sunnah lagi merupakan mayoritas.
Salaf berarti ulama-ulama
saleh yang hidup pada tiga abad pertama islam. Menurut Asy-Syahrastani (474 –
548 H) ulama salaf tidak menggunakan takwil (dalam menafsirkan ayat-ayat
mutasybihat) dan tidak mempunyai paham tasybih (antropomorfisme).
Aliran salaf adalah aliran yang dimunculkan
oleh orang-orang hanbaliah (abad ke IV H), pada abad VII H dihidupkan kembali
oleh Ibnu Taimiyah kemudian diteruskan oleh Muhammad bin Abdul Wahab (abad ke
12 H). Beberapa ulama salaf dengan pemikirannya, yang
berkaitan dengan persoalan-persoalan kalam yaitu Ibn Hanbal dan Ibn Taimiyah.
B.
Kritik dan Saran
Dari beberapa penjelasan di atas tentang pemikiran teologi ahl al-sunnah:
salaf (Ahmad ibn Hanbal dan ibn Taimiyah) pasti tidak terlepas dari kesalahan
penulisan dan rangkaian kalimat serta penyusunannya. Kami menyadari bahwa
makalah ini masih jauh dari kesempurnaan seperti yang di harapkan oleh para
pembaca khususnya pembimbing mata kuliah ini. Oleh karena itu, kami
mengharapkan kepada para pembaca mahasiswa dan dosen pembimbing mata kuliah ini
agar memberikan kritik dan saran yang sifatnya membangun dalam terselesaikannya
makalah yang selanjutnya.
[1] Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran
Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 1986) Hlm.62.
[3] Abdul Rozak, Ilmu Kalam edisi
revisi, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), hlm.134.
[4]Fauziah
Nurdin, Hidayah Menurut
Perspektif Al-Qur’an dan Aliran Kalam, (Yogyakarta: Ar-Raniry Press Cet.1, 2008) hlm.64.
[5]DR. Yusuf Al-Qaradhawi, Akidah Salaf
dan Khalaf ( Jakarta timur: Pustaka al-kautsar, 2005) hlm.47
[6] Abdul Rozak, Ilmu Kalam edisi
revisi, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), hlm.136.
[7]
Hidayah Menurut Perspektif Al-Qur’an dan Aliran Kalam, hlm 64-65
[8] Abdul Rozak, Ilmu Kalam, (Bandung:
Pustaka Setia, 2001), hlm.116.
[9] Syaikh, DR. Said Abdul Azhim, Ibnu
Taimiyah Pembaruan Salafi dan Dakwah Reformasi (Jakarta timur: Pustaka
Al-Kautsar, 2005) hlm. 162
Tidak ada komentar:
Posting Komentar