Rabu, 11 Juni 2014

Salaf : Ibnu Hanbal dan Ibnu Taimiyah


BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Ketika Nabi Muhammad SAW belum wafat, kaum muslimin masih bersatu dalam agama yang mereka jalani. Namun begitu Nabi Muhammad SAW wafat, perselisihan di antara mereka terjadi tentang pemimpin yang akan menjadi pengganti Nabi SAW. Namun akhirnya, kekuatan kepemimpinan para sahabat Nabi tersebut mengalahkan semua ambisi dan fanatisme kesukuan, sehingga menggiring mereka pada kesepakatan untuk memilih Abu Bakar As-Shidiq sebagai khalifah. Setelah Ia wafat, khalifah berpindah ke tangan Umar bin Khatab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib.
Pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib, muncul satu kelompok dari pengikut Ali yang memisahkan diri dan kemudian dinamakan dengan aliran khawarij. Khawarij berpandangan bahwa Utsman, Ali, Aisyah, Thalhah, Zubair, Muawiyah, dan pengikut mereka dalam perang Jamal dan Shiffin adalah kafir. Khawarij hanya mengakui khalifah Abi Bakar dan Utsman.
Pada masa Ali, lahir juga aliran Sabaiyah dari kalangan Rafidhah (Syi’ah) yang dipimpin oleh Abdullah bin Saba’. Mereka berpandangan bahwa Ali adalah Tuhan. Ajaran Abdullah bin Saba’ ini dilanjutkan oleh golongan syiah yang terpecah menjadi 3 golongan besar, yaitu Imamiyah, Zaidiyah, dan Ismailiyah.
Setelah benturan pemikiran antara Syi’ah dan Khawarij semakin keras pasca proses arbitrase antara Ali dan Mu’awiyah. Situasi tersebut menjadi sebab lahirnya satu kelompok yang netral (tidak memilih antara pihak manapun). Menurut kelompok  ini, ketika kita tidak dapat menentukan mana pihak yang salah dan mana yang benar, maka kita harus mengembalikan persoalan ini kepada Allah. Dengan pandangan ini, kelompok tersebut akhirnya dinamakan aliran Murji’ah (kelompok yang mengembalikan persoalan kepada Allah).
Pada akhir generasi sahabat, lahir aliran Qadariah  yang dipimpin oleh Ma’bad al-Juhani, Ghailan al-Dimasyqi dan Ja’ad bin Dirham. Kelompok ini berpandangan bahwa perbuatan manusia terjadi karena rencana sendiri bukan karena takdir Allah. Pandangan mereka menuai  penolakan keras dari kalangan sahabat yang masih hidup pada saat itu, seperti Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, dan lain sebagainya.
Pada masa al-Imam al-Hasan Al-Bashri lahir kelompok Mu’tazilah yang dirintis oleh Atha’ al-Ghazzal yang membawa paham manzilah baina al manzilataini (tempat antara dua tempat). Aliran ini berpandangan bahwa seorang muslim yang fasik tidak dikatakan mukmin dan tidak dikatakan kafir dan diakhirat nanti dia akan kelak dineraka bersama dengan orang-orang kafir. Selain aliran tersebut diatas muncul aliran Najjariyah, Karramiyah dan Wahhabi.
Berdasarkan data sejarah yang ada, setelah terjadinya fitnah pada masa khalifah Utsman bin Affan  kemudian aliran-aliran  yang menyimpang dari ajaran Islam yang murni dan asli bermunculan satu persatu, maka pada periode akhir generasi sahabat Nabi SAW istilah Ahl Sunnah Wal Jama’ah  mulai diperbincangkan dan dipopulerkan sebagai nama bagi kaum muslimin yang masih setia kepada ajaran Islam yang murni dan tidak terpengaruh dengan ajaran-ajaran baru yang keluar dari mainstrem.
B.  Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan Ahl Sunnah dan salaf ?
2.      Bagaimanakah latar belakang lahirnya Ahl Sunnah ?
3.      Siapakah Ibn Hanbal dan Ibn Taimiyah ?

C.  Tujuan
Sebagai pemenuhan salah satu tugas mata kuliah Ilmu Kalam yang berjudul ‘‘Pemikiran Teologi Ahl al-Sunnah: Salaf (Ahmad Ibn Hanbal dan Ibn Taimiyah” dan untuk menambah pengetahuan tentang hal tersebut.

BAB II
PEMBAHASAN
A.  Teologi Ahl al-Sunnah
Term ahli Sunnah dan Jama’ah ini timbul sebagai reaksi terhadap paham-paham golongan mu’tazilah yang telah dijelaskan sebelumnya dan terhadap sikap mereka dalam menyiarkan ajaran-ajaran itu.[1] Kaum Mu’tazilah tidak begitu banyak berpegang pada sunnah atau tradisi, bukan karena mereka tidak percaya pada tradisi Nabi dan para sahabat, tetapi karena mereka ragu akan keoriginalan hadis-hadis mengandung sunnah atau tradisi itu. Oleh karena itu mereka dapat dipandang sebagai golongan yang tidak berpegang teguh pada sunnah.
Dengan demikian kaum Mu’tazilah, di samping merupakan golongan minoritas, adalah golongan yang tidak kuat berpegang pada sunnah. Mungkin inilah yang menimbulkan term ahli Sunnah dan Jama’ah, yaitu golongan yang berpegang pada sunnah lagi merupakan mayoritas. Maka Sunnah dalam term ini berarti hadist, dan jama’ah berarti mayoritas sesuai dengan tafsiran yang diberikan Sadr al-Syari’ah al-Mahbubi yaitu ‘ammah al-muslimin (umumnya umat islam) dan al-jama’ah al kasir wa al-sawad al-‘azam (jumlah besar dan khalayak ramai).[2]

B.  Aliran Salaf
Menurut Thablawi Mahmud Sa’ad’ salaf artinya ulama Thabii, thabi’ thabi’in, para pemuka abad ke 3 H, dan para pengikutnya pada abad ke 4 yang terdiri atas Muhaddisin dan sebagainya. Salaf berarti ulama-ulama saleh yang hidup pada tiga abad pertama islam. Menurut Asy-Syahrastani (474 – 548 H) ulama salaf tidak menggunakan takwil (dalam menafsirkan ayat-ayat mutasybihat) dan tidak mempunyai paham tasybih (antropomorfisme).[3]
Aliran salaf adalah aliran yang dimunculkan oleh orang-orang hanbaliah (abad ke IV H), pada abad VII H dihidupkan kembali oleh Ibnu Taimiyah kemudian diteruskan oleh Muhammad bin Abdul Wahab (abad ke 12 H).[4]
Madzhab salaf juga menganut madzhab Hanbali dan para penahqiq yang tidak mengartikan ayat-ayat mutasyabihat, terutama dalam masalah nama-nama dan sifat-sifat allah. Karena, hal itu adalah prasangka. Sedangkan prasangka kadang salah dan kadang benar. Dengan demikian, hal itu sama dengan membicarakan Allah dengan tanpa ilmu. Dan, itu dilarang. Kaum salaf tidak mau menafsirkan karena takut tidak percaya terhadap nama-nama dan sifat-sifat Allah. Oleh karena itu, mereka berpendapat bahwa menanyakan hal itu termasuk ke dalam perbuatan bid’ah. Karena, para sahabat pun tidak pernah memperlakukan nama-nama dan sifat-sifat Allah dengan prasangka. Prasangka hanya dilakukan untuk hukum-hukum syariat, bukan keyakinan.[5]
Berikut akan di jelaskan beberapa ulama salaf dengan pemikirannya, terutama berkaitan dengan persoalan-persoalan kalam.
1.    Imam Ahmad Bin Hanbal (780 – 855 M)
a.       Riwayat hidup singkat Ibnu Hanbal
Ibnu Hanbal dilahirkan di Baghdad tahun 164 H atau 780 M. Dan meninggal 241 H atau 855 M. Ia serring di panggil Abu Abdillah karena salah seorang anaknya bernama Abdillah. Ia lebih di kenal dengan nama Imam Hanbali karena menjadi pendiri mazhab Hanbali. Ayahnya meninggal ketika Ibnu Hanbal masih berusia muda meskipun demikian, ayahnya telah mengawalinya memberikan Al-Quran. Pada usia 16 tahun, ia belajar Al-Quran dan ilmu-ilmu agama lainnya kepada ulama-ulama Baghdad. Lalu mengunjungi ulama terkenal di Kuffah, Basrah, Syam, Yaman, Mekkah, dan Madinah. Diantara guru- gurunya adalah Hammad Bin Khalik, Ismail Bin Aliyyah, Muzaffar Bin Mudrik, Walid Bin Muslim, Mukhtamar Bin Sulaiman, Abu Yusuf Al Qadi, Yahya Bin Zaidah, Ibrahim Bin Said, Muhammad Bin Idris Asyafii, Abd Razak Bin Humam, Dan Musa Bin Thariq. Dari guru-gurunya, Ibn Hanbal mempelajari ilmu fikih, hadist, tafsir, kalam, ushul, dan bahasa arab.
Sebagai seorang yang teguh pendirian, ketika khalifah Al makmun mengembangkan mazhab Mu’tazilah, Ibn Hanbal menjadi korban “mihnah” inquistation karena tidak mengakui bahwa Al Quran itu makhluk, sehingga ia harus masuk penjara. Nasib serupa di alaminya pada masa pemerintahan para pengganti Al makmun, yaitu Al muktasim dan Al Watsiq. Setelah Al mutawakkil naik tahta, Ibn hanvbal memperoleh kebebasan. Pada masa ini, ia memperoleh penghormatan dan kemuliaan.
Diantara murid-murid Ibn Hanbal adalah Ibn Taimiyah, Hasan Bin Musa, Al Bukahri, Muslim,Abu Daud,Abu Zuhrah Adamsyiqi,Abu Zuhrah Ar-Razi,Ibn Abi Adunia,Abu Bakar Al-Asram,Hanbal Bin Ishaq Asyaibani,Saleh,dan Abdullah.Kedua orang yang disebutkan terakhir merupakan putranya.[6]
b.      Pemikiran Teologi Ibnu Hanbal
1)      Ayat-Ayat Mutashabihat
Dalam memahami ayat-ayat Al-Quran, Ibnu Hanbal lebih menyukai pendekatan lafdzi (tekstual) dari pada pendekatan takhwil,terutama yang berkaitan dengan sifat-sifat tuhan dan ayat-ayat mutashabihat. Hal itu terbukti ketika ia ditanya tentang penafsiran ayat:
اَلرَّحْمَانُ عَلىَ الْعَرْشِ اسْتَوَى
Artinya: Yang maha pengasih,yang brsemayam di tas arsyi (Q.S. Thaha [20]:5)


Dalam hal ini, Ibnu Hanbal menjawab;
اِسْتَوَى عَلىَ الْعَرْشِ كَيْفَ شَاءَ وَكَمَا شَاءَ بِلَا حَدٍ وَلَا صِفَةٍ  يُبَلِّغُهَا وَاصِفٌ
Artinya: Istawa di atas arsyi terserah Dia dan bagaimana Dia kehendaki dengan tiada  batas dan tiada seorang pun yang sanggup menyifatinya.
Kemudian, ketika ditanya tentang makna hadis nuzul (Tuhan turun ke langit dunia),ru’kyah (orang-orang beriman melihat tuhan di akhirat),dan hadis tentang telapak kaki tuhan, Ibnu Hanbal menjawab;    
نُؤْمِنُ بِهَا وَ نُصَدِّ قُهَا وَلاَ كَيْفَ وَلَا مَعْنَى
Artinya: Kita mengimani dan membenarkannya, tanpa mencari penjelasan cara dan maknanya.
Dari pernyataan di atas Ibnu Hanbal tampaknya bersikap menyerahkan  (Tahwizdh) makna-makna ayat dan hadis mutasyabihat kepada Allah dan Rasulnya,dan menyucikannya dari keserupaan dengan makhluk.Ia sama sekali tidak menakwilkan pengertian lainnya.
2)      Status Al-qur’an
Salah satu persoalan teologis yang dihadapi Ibn Hanbal yang kemudian membuatnya dipenjara beberapa kali adalah tentang status Al-qur’an, apakah diciptakan (makhluk) karena hadis (baru) ataukah tidak diciptakan karena qadim. Paham yang diakui pemerintah resmi pada saat itu, yaitu Dinasti Abbasiyah di bawah kepemimpinan Khalifah Al-Ma’mun, Al-Mu’tasim, dan Al-Watsiq adalah paham Mu’tazilah, yaitu Al-qur’an bersifat qadim, tetapi baru dan diciptakan. Sebab, paham adanya qadim di samping Tuhan, bagi Mu’tazilah berarti menduakan Tuhan. Menduakan Tuhan adalah syirik dan dosa besar dan tidak diampuni Tuhan.
Tampaknya Ibn Hanbal tidak sependapat dengan paham resmi di atas. Oleh karena itu, ia kemudian diuji dalam kasus mihnah oleh aparat pemerintah. Pandangannya tentang status Al-qur’an dapat dilihat dari dialognya dengan Ishaq bin Ibrahim, Gubernur Iraq:
      Ishaq                     :Apa pendapatmu tentang Al-qur’an
      Ibn Hanbal                        :Sabda Tuhan
      Ishaq                     :Apakah ia diciptakan
      Ibn Hanbal                       :Sabda Tuhan, saya tidak mengatakan lebih dari itu
Ishaq                    : Apa arti ayat : Maha mendengar (Sami’) dan maha melihat ( Basir) ?
                               (Ishaq ingin memuji Ibnu Hanbal tentang paham antropomorfisme)
Ibnu Hanbal         : Tuhan mensifatkan dirinya (dengan kata-kata itu)
Ishaq                    : Apa artinya?
Ibnu Hanbal         : tidak tahu. Tuhan adalah sebagaimana ia sifatkan dirinya.
2.      Ibn Taimiah
1)      Riwayat Hidup Singkat Ibn Taimiah
Nama lengkap Ibn Taimiah adalah Taqiyuddin Ahmad bin Abi Al-Halim bin Taimiah. Dilahirkan di Harran pada hari senin tanggal 10 Rabiul Awal tahun 661 H dan meninggal di penjara malam senin tanggal 20 Dzulqaidah tahun 729 H. Kewafatannya telah menggetarkan dada seluruh penduduk Damaskus, Syam, dan Mesir, serta kaum muslim pada umumnya. Ayahnya bernama Syihabbuddin Abu Ahmad Abdul Halim bin Abdissalam Ibn Abdillah bin Taimiah, seorang syekh, khatib, dan hakim di kotanya.
Ibn Taimiah terkenal dengan kecerdasan sehingga pada usia 17 tahun telah dipercaya masyarakat untuk memberikan pandangan-pandangan mengenai masalah hukum secara resmi. Para ulama lawan Ibn Taimiah yang sangat risau oleh serangan-serangannya, seta iri hati terhadap kedudukannya di istana gubernur Damaskus, telah menjadikan pemikiran-pemikiran Ibn Taimiah sebagai landasan untuk menyerangnya. Dikatakan oleh lawan-lawannya bahwa pemikiran Ibn Taimiah sebagai klenik, antropomorphisme, sehingga pada awal 1306 M Ibn Taimiah dipanggil ke Kairo. Sesuai keputusan pengadilan kilat, akhirnya ia dipenjarakan.
2)      Pemikiran Teologi Ibn Taimiah
Pikiran-pikiran Ibn Taimiah, seperti dikatakan Ibrahim Madzkur adalah sebagai berikut:
·         Berpegang teguh pada nash (teks Al-qur’an dan Al-hadist)
·         Tidak memberikan ruang gerak yang bebas pada akal
·         Berpendapat bahwa Al-qur’an mengandung semua ilmu agama
·         Di dalam Islam yang diteladani hanya tiga generasi (sahabat, tabiin, dan tabii tabiin)
·         Allah memiliki sifat yang tidak bertentangan dengan tauhid dan tetap mentahzihkannya
·         Ibn Taimiah mengkritik Imam Hanbali dengan mengatakan bahwa apabila kalamullah qadim, kalamnya pasti qadim pula.
Lahirnya aliran salaf juga dibarengi oleh berbagai situasi, antara lain menggejalannya pentakwilan Al-qur’an yang tidak membawa manfaat bagi kaum muslimin dan terdapatnya gejala kerusakan ‘aqidah, tersebarnya bid’ah dan menyelewengnya cara-cara beribadah.
Keadaan diatas menggugah hati orang yang bermazhab hanbali bangkit memberantas semua bid’ah yang telah meresap dalam jiwa kaum muslimin, bangun dan berjuang ingin mengembalikan semua ibadah kepada Al-qur’an, hadist, amal para sahabat dan tabi’in atau dengan kata lain kembali kepada garis-garis islam yang sebenarnya, sebagaimana dilakukan oleh Nabi, para sahabat dan para tabi’in.
Ibnu Taimiyah salah seorang pembela aliran salaf, telah menyerang secara tajam lawan-lawan yang tidak sepaham dengannya. Ia menyerang para failasuf dengan tuduhan telah memasukkan filsafat yunani ke dalam ajaran islam, menyerang Ghazali dan para sufi lainnya dengan tuduhan telah membuat ibadah-ibadah baru dalam Islam dan memasukkan Hadia-hadia palsu, dan kepada kaum mu’tazilah dituduh telah mendahulukan akal daripada Al-quran, bahkan ia berani menyerang Umar bin Khattab khalifah kedua dengan tuduhan telah membuat salah dan menciptakan bid’ah.
Islam menurut aliran salaf adalah mengimani apa yang terdapat dalam teks Al-quran, harus dipahaminya tanpa takwil, seperti mengimani jin, malaikat, syaitan, segala sifat Tuhan seperti adil, berkehendak mutlak, mempunyai arasyi, perkasa, menunjuki orang-orang yang beriman, menyesatkan orang-orang kafir, menciptakan perbuatan manusia, memberi imbalan sesuai dengan amal perbuatannya dan sebagainya. Semuanya itu harus dipercaya tidak boleh dibantah, ditafsir dan tidak boleh disesuaikan dengan akal manusia.[7]
Berikut ini merupakan pandangan Ibn Taimiyah tentang sifat-sifat Allah.
a.    Percaya sepenuh hati terhadap sifat-sifat Allah yang Ia sendiri atau rasul-Nya menyifati.sifat-sifat yang dimaksud adalah :
1.      Sifat Salbiyah yaitu qidam, baqa, mukhalafatuhu lil hawaditsi, qiyamuhu binafsihi dan wahdaniyah
2.      Sifat ma’ani yaitu qudrah, iradah, sama’, bashar, hayat, ilmu dan kalam.
3.      Sifat khabariah ( sifat-sifat yang diterangkan Al-Quran dan Hadis walaupun akal bertanya-tanya tentang maknanya). Seperti keterangan yang menyatakan bahwa Allah di langit; Allah atas Arasy; Allah turun ke langit dunia; Allah dilihat oleh orang beriman di surga kelak; wajah, tangan dan mata Allah.
4.      Sifat dhafiah,meng-idhafat-kan atau menyandarkan nama-nama Allah pada alam makhluk, seperti rabb al-alamin, khaliq al-kaun, dan falik al-hubb wa al-nawa.
b.    Percaya sepenuhnya terhadap nama-nama-Nya, yang Allah atau rasulnya sebutkan, seperti al-awwal. Al-akhir, azh-zhahir,al-bathin,al-alim,al-qadir,al-hayy,al-qayyum,as-sami,dan al bashir.
c. Menerima sepenuhnya sifat dan nama Allah tersebut dengan :
1.      Tidak mengubah maknanya dapa makna yang tidak dikehendaki lafaz (min ghair tahrif)
2.      tidak menghilangkan pengertian lafaz (min ghair ta ‘thil)
3.      tidak mengingkarinya (min ghair ilhad)
4.      tidak menggambar-gambarkan bentuk tuhan, baik dalam pikiran atau hati, apalagi dengan indera (min ghair takyif at-takyif)
5.      tidak menyerupakan (apalagi menyamakan) sifat-sifat-Nya dengan sifat-sifat makhluk-Nya (min ghair tamtsil rabb al-alamin). Hal ini disebabkan bahwa tiada sesuatu pun yang dapat menyamai-Nya, bahkan yang menyerupai-Nya pun tiada ada.
            Berdasarkan alasan diatas, Ibn Taimiyah tidak menyetujui penafsiran ayat-ayat mutasyabihat.Menurutnya, ayat atau Hadis yang menyangkut sifat-sifat Allah yang harus diterima dan diartikan sebagaimana adanya, dengan catatan tidak men-tajsim-kan,tidak menyerupakan-Nya dengan makhluk, dan tidak bertanya-tanya tentangnya.[8]



3)      Konsepsi baik buruk menurut pandangan Ibnu Taimiyah
            As-Safarini pernah menyatakan, sebagaimana ia kutip dari pendapat Ibnu Taimiyah, bahwa Allah menciptakan manusia atau ciptaan-Nya dengan ikhtiar, sebagaimana tertera dalam bait syair berikut:
            ‘‘Tuhan kita menciptakan (manusia atau makhluk-Nya) dengan ikhtiar tanpa tuntunan dan tanpa terpaksa. Tuhan tidak menciptakan makhluknya untuk tujuan yang sia-sia, sebagaimana tersirat dari petunjuk nash yang ada. Dengan demikian, ikutilah petunjuknya”
            Ibnu Taimiyah mengatakan, sebagaimana dikutip oleh As-Safarini, “persoalan tentang konsep baik dan buruk menurut pandangan akal telah menimbulkan perselisihan yang cukup tajam di antara kalangan mu’tazilah dan kelompok-kelompok lainnya. Kalangan mu’tazilah, Al-Karamiyah, dan sebagai pengikut Abu Hanafiah, Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad dan ahli hadits menetapkan bahwa akal dapat menentukan sesuatu yang baik dan buruk. Sedangkan yang munafikan peran akal dalam menetapkan konsep baik dan buruk adalah kalangan Al-Asy ‘ariyah dan kelompok yang seide dengan mereka seperti sebagian pengikut imam Malik, imam Asy-Syafi’i dan imam Ahmad. [9]









BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Term ahli Sunnah dan Jama’ah, yaitu golongan yang berpegang pada sunnah lagi merupakan mayoritas.
Salaf berarti ulama-ulama saleh yang hidup pada tiga abad pertama islam. Menurut Asy-Syahrastani (474 – 548 H) ulama salaf tidak menggunakan takwil (dalam menafsirkan ayat-ayat mutasybihat) dan tidak mempunyai paham tasybih (antropomorfisme).
Aliran salaf adalah aliran yang dimunculkan oleh orang-orang hanbaliah (abad ke IV H), pada abad VII H dihidupkan kembali oleh Ibnu Taimiyah kemudian diteruskan oleh Muhammad bin Abdul Wahab (abad ke 12 H). Beberapa ulama salaf dengan pemikirannya, yang berkaitan dengan persoalan-persoalan kalam yaitu Ibn Hanbal dan Ibn Taimiyah.

B.  Kritik dan Saran
Dari beberapa penjelasan di atas tentang pemikiran teologi ahl al-sunnah: salaf (Ahmad ibn Hanbal dan ibn Taimiyah) pasti tidak terlepas dari kesalahan penulisan dan rangkaian kalimat serta penyusunannya. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan seperti yang di harapkan oleh para pembaca khususnya pembimbing mata kuliah ini. Oleh karena itu, kami mengharapkan kepada para pembaca mahasiswa dan dosen pembimbing mata kuliah ini agar memberikan kritik dan saran yang sifatnya membangun dalam terselesaikannya makalah yang selanjutnya.


[1] Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 1986) Hlm.62.
[2] Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, hlm.64-65.
[3] Abdul Rozak, Ilmu Kalam edisi revisi, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), hlm.134.
[4]Fauziah Nurdin, Hidayah Menurut Perspektif Al-Qur’an dan Aliran Kalam, (Yogyakarta: Ar-Raniry Press Cet.1, 2008) hlm.64.
[5]DR. Yusuf Al-Qaradhawi, Akidah Salaf dan Khalaf ( Jakarta timur: Pustaka al-kautsar, 2005) hlm.47

[6] Abdul Rozak, Ilmu Kalam edisi revisi, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), hlm.136.
[7] Hidayah Menurut Perspektif Al-Qur’an dan Aliran Kalam, hlm 64-65
[8] Abdul Rozak, Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), hlm.116.
[9] Syaikh, DR. Said Abdul Azhim, Ibnu Taimiyah Pembaruan Salafi dan Dakwah Reformasi (Jakarta timur: Pustaka Al-Kautsar, 2005) hlm. 162

Tidak ada komentar:

Posting Komentar